Sang
Ratu dari Timur (Queen of The East)
sebuah sebutan kebanggaan Belanda terhadap Batavia. Asal mula Jakarta sebagai
kota pelabuhan dapat kita telusuri hingga sekitar abad ke 12. Pada waktu itu,
disebutkan adanya sebuah kota bernama Sunda Kepala yang nampaknya merupakan
pelabuhan kerajaan Hindu yang bernama Pajajaran. Nama pelabuhan tersebut mengacu
pada nama Sunda, yaitu wilayah Jawa bagian barat, di mana penduduknya memiliki
bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, sert nama
tumbuhan kelapa yang banyak tumbuh di wilayah
pesisir tersebut. Di sinilah untuk pertama kalinya sebuah pelabuhan di
Kali Ciliwung berdiri sebagai bagian penting dalam jaringan perdagangan
Indonesia. Nilai penting Sunda Kelapa juga dipengaruhi oleh pola perdagangan.
Ketika pelabuhan Malaka di pantai barat Malaya semakin kuat, pengaruh Sunda
Kepala dan pelabuhan – pelabuhan lain di wilayah tersebut memudar. Namun
demikian, saat selata Malaka ditakluka oleh Portugis (1511), Sunda Kelapa
diuntungkan dengan meningkatnya kedatangan para pedagang Muslim yang memboikot
Malaka.
Pada
abad ke-16, Sunda Kelapa tetap berada dalam pengaruh agama Hindu terjebak dalam
persaingan antara dua kekuatan asing baru, yaitu Islam dan Kristen. Walaupun
ingin mendapatkan keuntungan dari kedatangan para pedagang muslim, pemimpin
Pajajaran merasa khawatir terhadap
invasi agama baru tersebut. Sebagaimana para penguasa maritim lainnya yang memanipulasi para pedagang untuk
keuntungan mereka sendiri, penguasa Sunda Kelapa menjalin hubungan dengan
Portugis (1522) guna mendapatkan perlindungan dari ancaman kekuatan muslim di
daerah sekitarnya. Sunda Kelapa menjanjikan sejumlah lada setiap tahun dengan
syarat Portugis hatus membangun benteng di Sunda Kelapa. Namun, ketika Portugis
datang pada 1527 guna membangun benteng, ternyata mereka telah didahului oleh
kaum Muslim.
Kekuatan
Jawa Barat yang semakin berkembang pada saat itu, yaitu Kesultanan Banten di
sebelah barat Sunda Kelapa telah mengirimkan seorang panglima bernama
Fatahillah (Fadhillah Khan atau orang Portugis mengenalnya dengan nama Tagaril
atau Falatehan) guna menaklukkan kota ini dan megubahnya menjadi negara bawahan
Banten. Ia berhasil mengusir armada Portugis, lalu mengganti nama pelabuhan ini
menjadi Jayakarta (Kemenangan dan Kejayaan). Inilah yang menjadi asal nama
Jakarta saat ini.
Di
bawah Banten, Jayakarta tidak sebesar Sunda Kelapa. Sesuai dengan tata kota
Jawa, pusat kotanya adalah kediaman Pangeran Jayakarta (yang ditunjuk oleh
Sultan Banten) yang terletak didekat alun-alun dan masjid. Jayakarta memiliki
reputasi sebagai kota perbekalan (tempat kapal dapat berlabuh guna mendapatkan
persedian logistik serta kayu guna perbaikan kapal) hingga tahun 1619. Isu akan
kebutuhan VOC mendirikan markas besar di kepulauan Indonesia pun berkembang
(Blackburn, 2011:4-8). Kebutuhan akan markas besar basis operasi perdagangan
semakin terasa dengan semakin meningkatnya ancamana persaingan dari pihak
Inggris. Pusat perdagangan VOC pada 1603 terletak di Banten, dirasa kurang
cocok untuk dijadikan sebagai markas besar. Di tempat ini mereka mendapat
saingan yang hebat dari para pedagang Cina dan Inggris dan kota ini berada di
bawah kekuasaan Kesultanan Banten yang kaya dan kuat (Ricklefs, 1998:41).
VOC
segera mengalihkan perhatiannya ke Jayakarta sebagai lokasi yang berpotensi
dijadikan markas besar. Alasannya adalah pertama, seperti laykanya Banten,
pelabuhan ini dekat dengan Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal Belanda
dalam perjalanan melintasi samudera Hindia dari dan ke Eropa melewati Tanjung
Harapan., Kedua, meskipun bawahan Banten, Pangeran Jayakarta sudah tidak lagi
tunduk pada Banten dan berupaya membangun kekayaan dan kemandirian dengan cara
menarik para pedagang dari Banten. Pada 1610, sebuah kontrak ditandatangani antara
VOC dan Pangeran Jayakarta yang mengizinkan VOC untuk membangun gudang-gudang
di tepi timur kali Ciliwung (Blackburn, 2011:11). Bneteng tersebut dinamai Mauritius
Huis. Melalui benteng inilah, pada bukan Mei 1619 VOC menyerang Jayakarta
dengan membumihanguskan kraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk (Hapsari
dan Adil, 2014:41). Orang yang bertanggunngjawab atas kehancuran Jayakarta
ialah Jan Pieterzoon Coen yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1618
(Blackburn, 2011:11).
Di
dalam Benteng, orang –orang Belanda segera merayakan kejadian tersebut dan
dalam suasana pesta yang diadakan pada 12 Maret 1619, mereka menamakan
bentengnya menjadi “Batavia” guna menghormati leluhur bangsa Belanda, yaitu
orang- orang Batavia (Blackburn, 2011:15). Hal ini sesuai dengan nama suku
bangsa Jerman kuno di negeri Belanda (Ricklefs, 1998:45). Walaupun tidak segera
mendapatkan pengakuan resmi, nama ini terus bertahan dan diakui oleh VOC pada
1621.
Pada
1942 Jepang berupaya menghapus semua pengaruh Belanda. Patung pendiri Batavia,
Jan Pieterzoon Coen segera digusur dari tempat kehormatannya di Waterlooplein.
Penggusuran ini seolah menjadi pertanda pernyataan yang disampaikan nantinya
pada 1942 bahwa nama ibukota diubah menjadi Jakarta, versi Jayakarta pada masa
pra kolonial. Pada Oktober 1942, semua penanda dan iklan dalam bahasa Belanda
harus diganti ke dalam bahasa Jepang atau Indonesia (Blackburn, 2011:182-183).
Walaupun
kekuasaan VOC sangat besar, namun VOC tidak mampu memberikan kesan Eropa yang
kuat terhadap kota ini. Di antara kelompok-kelompok etnis di Batavia pada abad
ke-19, orang Indonesia mengalami transformasi yang paling menarik. Pada awal
abad tersebut, mereka masih dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok,
seperti: Melayu, Bugis, Bali, Sumbawa dan Ambon, serta sebuah kategori lain
yang mencakup semuanya yaitu budak yang juga datang dari seluruh kepulauan kecuali Jawa. Berakhirnya perdagangan budak pada 1812 berarti
penyerapan budak secara bertahap ke dalam masyarakat Batavia yang lebih luas.
Populasi orang Indonesia di Batavia meninngkat 2 kali lipat selama abad ini,
dari 33.000 orang (termasuk semua kelompok etnis dan budak Indonesia) pada
1815, menjadi hampir 78.000 orang pada 1900. Dengan demikian pada abad ke-19,
orang Indonesia yang dilahirkan di Batavia secara umum disebut orang Betawi
(Blackburn, 2011:90). Menelisik tentang sejarah asal muasal kata Betawi, kata
betawi sebagai sebuah suku yang pada masa Hindia Belanda diawali dengan
pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada
tahun 1923 yang didirikan oleh Husni Thamrin.
Daftar Pustaka:
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.
Hapasari, Ratna., dan Adil, M. 2014. Sejarah Indonesia untuk SMA/Ma Kelas XI
Kelompok Wajib berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: Erlangga.
Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.