Sabtu, 15 Juli 2017

Queen of The East



 
Sang Ratu dari Timur (Queen of The East) sebuah sebutan kebanggaan Belanda terhadap Batavia. Asal mula Jakarta sebagai kota pelabuhan dapat kita telusuri hingga sekitar abad ke 12. Pada waktu itu, disebutkan adanya sebuah kota bernama Sunda Kepala yang nampaknya merupakan pelabuhan kerajaan Hindu yang bernama Pajajaran. Nama pelabuhan tersebut mengacu pada nama Sunda, yaitu wilayah Jawa bagian barat, di mana penduduknya memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, sert nama tumbuhan kelapa yang banyak tumbuh di wilayah  pesisir tersebut. Di sinilah untuk pertama kalinya sebuah pelabuhan di Kali Ciliwung berdiri sebagai bagian penting dalam jaringan perdagangan Indonesia. Nilai penting Sunda Kelapa juga dipengaruhi oleh pola perdagangan. Ketika pelabuhan Malaka di pantai barat Malaya semakin kuat, pengaruh Sunda Kepala dan pelabuhan – pelabuhan lain di wilayah tersebut memudar. Namun demikian, saat selata Malaka ditakluka oleh Portugis (1511), Sunda Kelapa diuntungkan dengan meningkatnya kedatangan para pedagang Muslim yang memboikot Malaka.
Pada abad ke-16, Sunda Kelapa tetap berada dalam pengaruh agama Hindu terjebak dalam persaingan antara dua kekuatan asing baru, yaitu Islam dan Kristen. Walaupun ingin mendapatkan keuntungan dari kedatangan para pedagang muslim, pemimpin Pajajaran  merasa khawatir terhadap invasi agama baru tersebut. Sebagaimana para penguasa maritim lainnya  yang memanipulasi para pedagang untuk keuntungan mereka sendiri, penguasa Sunda Kelapa menjalin hubungan dengan Portugis (1522) guna mendapatkan perlindungan dari ancaman kekuatan muslim di daerah sekitarnya. Sunda Kelapa menjanjikan sejumlah lada setiap tahun dengan syarat Portugis hatus membangun benteng di Sunda Kelapa. Namun, ketika Portugis datang pada 1527 guna membangun benteng, ternyata mereka telah didahului oleh kaum Muslim.
Kekuatan Jawa Barat yang semakin berkembang pada saat itu, yaitu Kesultanan Banten di sebelah barat Sunda Kelapa telah mengirimkan seorang panglima bernama Fatahillah (Fadhillah Khan atau orang Portugis mengenalnya dengan nama Tagaril atau Falatehan) guna menaklukkan kota ini dan megubahnya menjadi negara bawahan Banten. Ia berhasil mengusir armada Portugis, lalu mengganti nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta (Kemenangan dan Kejayaan). Inilah yang menjadi asal nama Jakarta saat ini.
Di bawah Banten, Jayakarta tidak sebesar Sunda Kelapa. Sesuai dengan tata kota Jawa, pusat kotanya adalah kediaman Pangeran Jayakarta (yang ditunjuk oleh Sultan Banten) yang terletak didekat alun-alun dan masjid. Jayakarta memiliki reputasi sebagai kota perbekalan (tempat kapal dapat berlabuh guna mendapatkan persedian logistik serta kayu guna perbaikan kapal) hingga tahun 1619. Isu akan kebutuhan VOC mendirikan markas besar di kepulauan Indonesia pun berkembang (Blackburn, 2011:4-8). Kebutuhan akan markas besar basis operasi perdagangan semakin terasa dengan semakin meningkatnya ancamana persaingan dari pihak Inggris. Pusat perdagangan VOC pada 1603 terletak di Banten, dirasa kurang cocok untuk dijadikan sebagai markas besar. Di tempat ini mereka mendapat saingan yang hebat dari para pedagang Cina dan Inggris dan kota ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten yang kaya dan kuat (Ricklefs, 1998:41).
VOC segera mengalihkan perhatiannya ke Jayakarta sebagai lokasi yang berpotensi dijadikan markas besar. Alasannya adalah pertama, seperti laykanya Banten, pelabuhan ini dekat dengan Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal Belanda dalam perjalanan melintasi samudera Hindia dari dan ke Eropa melewati Tanjung Harapan., Kedua, meskipun bawahan Banten, Pangeran Jayakarta sudah tidak lagi tunduk pada Banten dan berupaya membangun kekayaan dan kemandirian dengan cara menarik para pedagang dari Banten. Pada 1610, sebuah kontrak ditandatangani antara VOC dan Pangeran Jayakarta yang mengizinkan VOC untuk membangun gudang-gudang di tepi timur kali Ciliwung (Blackburn, 2011:11). Bneteng tersebut  dinamai Mauritius Huis. Melalui benteng inilah, pada bukan Mei 1619 VOC menyerang Jayakarta dengan membumihanguskan kraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk (Hapsari dan Adil, 2014:41). Orang yang bertanggunngjawab atas kehancuran Jayakarta ialah Jan Pieterzoon Coen yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1618 (Blackburn, 2011:11).
Di dalam Benteng, orang –orang Belanda segera merayakan kejadian tersebut dan dalam suasana pesta yang diadakan pada 12 Maret 1619, mereka menamakan bentengnya menjadi “Batavia” guna menghormati leluhur bangsa Belanda, yaitu orang- orang Batavia (Blackburn, 2011:15). Hal ini sesuai dengan nama suku bangsa Jerman kuno di negeri Belanda (Ricklefs, 1998:45). Walaupun tidak segera mendapatkan pengakuan resmi, nama ini terus bertahan dan diakui oleh VOC pada 1621.
Pada 1942 Jepang berupaya menghapus semua pengaruh Belanda. Patung pendiri Batavia, Jan Pieterzoon Coen segera digusur dari tempat kehormatannya di Waterlooplein. Penggusuran ini seolah menjadi pertanda pernyataan yang disampaikan nantinya pada 1942 bahwa nama ibukota diubah menjadi Jakarta, versi Jayakarta pada masa pra kolonial. Pada Oktober 1942, semua penanda dan iklan dalam bahasa Belanda harus diganti ke dalam bahasa Jepang atau Indonesia (Blackburn, 2011:182-183).
Walaupun kekuasaan VOC sangat besar, namun VOC tidak mampu memberikan kesan Eropa yang kuat terhadap kota ini. Di antara kelompok-kelompok etnis di Batavia pada abad ke-19, orang Indonesia mengalami transformasi yang paling menarik. Pada awal abad tersebut, mereka masih dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok, seperti: Melayu, Bugis, Bali, Sumbawa dan Ambon, serta sebuah kategori lain yang mencakup semuanya yaitu budak yang juga datang dari seluruh kepulauan kecuali Jawa. Berakhirnya  perdagangan budak pada 1812 berarti penyerapan budak secara bertahap ke dalam masyarakat Batavia yang lebih luas. Populasi orang Indonesia di Batavia meninngkat 2 kali lipat selama abad ini, dari 33.000 orang (termasuk semua kelompok etnis dan budak Indonesia) pada 1815, menjadi hampir 78.000 orang pada 1900. Dengan demikian pada abad ke-19, orang Indonesia yang dilahirkan di Batavia secara umum disebut orang Betawi (Blackburn, 2011:90). Menelisik tentang sejarah asal muasal kata Betawi, kata betawi sebagai sebuah suku yang pada masa Hindia Belanda diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923 yang didirikan oleh Husni Thamrin.

Daftar Pustaka:
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.
    Hapasari, Ratna., dan Adil, M. 2014. Sejarah Indonesia untuk SMA/Ma Kelas XI Kelompok Wajib berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: Erlangga.
          Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Jumat, 24 Juni 2016

Pesona Negeri Kelapa

Hallo the readers, akan ku ceritakan sepotong kisahku selama 9 bulan terakhir ku hidup di “Negeri Kelapa”. Where is it? Sebuah negeri di ujung utara wilayah Indonesia bagian timur, Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara. Lalu kenapa ku sebut “negeri kelapa”? Jadi gini gaeis, mungkin banyak orang diluar sana yang menjuluki Pulau Morotai sebagai mutiara di bibir Pasifik, namun tidak bagiku, Aku lebih suka menyebut daerah ini sebagai “Negeri Kelapa”. Karena apa? Di mana – mana ada kelapa, men. 
 Dari ujung pulau ke ujung pulaunya lagi, perwujudan pohon kelapa menjadi pemandangan setiap pagiku, siangku, dan malam ku. Bahkan wujud buah kelapa selalu ada dalam setiap menu makan pagi, siang dan malamku. Dan yang tak kalah nikmatnya, buaian daun kelapa yang aduh haii sepoipoi dikala sang surya tengah berada di puncak, buaiannya yang tak kalah pula kala sang surya tenggelam di ufuk barat.
Berkat kelapa pula masyarakat disini dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke Tobelo, Ternate, Tidore, Manado, Makassar bahkan ada pula yang sampai ke Jawa. For your information, mata pencaharian mayoritas masyarakat di sini berladang dan nelayan, banyak dari mereka yang menanami ladang mereka dengan kelapa yang kemudian diolah menjadi kopra, ada juga yang menanaminya dengan cengkeh. Sebuah barang komoditas ekspor dari jaman kedatangan bangsa barat di Indonesia hingga sekarang yang masih memiliki harga jual yang cukup tinggi. Nah, the readers, ada yang cukup unik dari cara berladang masyarakat disini, misalnya ketika memasuki musim tanam padi. Kala itu, liburan semester ganjil. Percaya ka tarada? Kalo padi dapat tumbuh subur di lahan ini. (See the bellow picture)
                           

Dari lahan bekas kebun kelapa inilah benih-benih cinta padi mulai di tabur. FYI, orang Bere-Bere dalam batanam padi, mereka memanfaatkan lahan bekas kebun kelapa. Setelah pohon kelapa dibabat abis, kemudian tanah lahan tersebut ditikam-tikam dengan tongkat kayu hingga terbentuk lobang-lobang kecil kira-kira kedalamannya 20 cm, barulah si benih padi tadi ditabur pada lobang-lobang kecil tadi, si lobang yang telah terisi benih padi, Cuma dibiarkan begitu saja tanpa ditimbun tanah lagi. Dan yang bikin saya heran hingga takjub, awal bulan maret 2016 lalu, kebetulan saya melintas di kebun tersebut, dan subhanallah benih padinya so tumbuh besar-besar hingga petak lahan tersebut bak permadani hijau. Emejing :D
Tradisi ini juga sama ketika panen langsa, di mana pada waktu itu satu kebun langsang yang manen hampir satu desa, bahkan dari desa tetangga juga ada yang ikut.
Kalo dari tadi saya lebih sering menceritakan kehidupan masyarakatnya, sekarang giliranku ceritakan bagaimana pendidikan di sini. Saya harap setelah membaca tulisanku mengenai pendidikan disini, the readers tara usah terheran-heran hingga mulut terbuka lebar, mata melongo. Jangan ya the readers, hehehheheh.
FYI, di Morotai ini saya mengabdikan diriku di dua sekolah yang memiliki basic yang berbeda. Pagi hari ku berbagi ilmu dengan Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Pulau Morotai, sore hari ku berbagi ilmu dengan anak-anak Sekolah Menengah Teologi Kristen Tawakali. Yupzz, di kedua tempat tersebut saya mengajar SEJARAH. Belajar sejarah itu asyik lho gaeis. Kalo ndak percaya sesekali the readers bolehlah mencoba ikut kelas saya, hehehheheh





Singkat cerita, di SMP saya punya dua murid kelas VII yang belum bisa membaca dan menulis, sebut saja SNS dan MDL. Suatu hari Ku adakan ulangan harian sejarah yang pertama. Tet tot, berhubung saya so tau kalo SNS dan MDL tara bisa menulis dan membaca, saya pun memberi mereka ulangan lisan. Satu pertanyaan pun saja ajukan, tapi  mereka tara bisa menjawab, akhirnya saya lanjutkan pertanyaan kedua, mereka juga tara bisa menjawab, hingga sampe pertanyaan terakhir, pertanyaan kelima, hasilnya pun masih sama meraka tara bisa jawab. Yasudahlah, saya akhirnya bertanya kepada mereka “Selama bu Ika mengajar ngoni (red.Kalian), yang ngoni tau apa?” MDL masih tetap saja tara bisa menjawab. Saya berharapa SNS bisa menjawab, sebuah jawaban pun terlontar dari mulut mungil SNS “tukar menukar”. Mendengar jawaban SNS, tenggorokan saya rasanya tiba-tiba serasa tercekik, mata saya pun so mulai berkaca-kaca, suara saya pun so mulai parau, saya pun menyuruh mereka duduk.
Yepzz, memang sebenarnya jawaban SNS tidak terlalu melenceng si, memang pada waktu itu materi yang kita bahas mengenai kehidupan awal manusia, dan tukar-menukar tidak lain arti dari sistem barter yang digunakan pada kehidupan awal manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya dengan cara menukar barang yang satu untuk mendapatkan barang yang lainnya.
Mulai dari kejadian ini saya berpikir, Ya Allah masih dapatkah saya menjadi partikel cahaya yang mampu menerangi mimpi-mimpi mereka??
Hari demi hari pun berlanjut, saya menawarkan kepada SNS dan MDl untuk bimbingan menulis dan membaca dengan saya setiap sore kecuali hari Kamis, karena saya ada jadwal mengajar di SMTK Siloam Tawakali. Tapi...mereka tara pernah datang. Hingga akhirnya kuputuskan untuk mendatangani kedua orang tua mereka. Awal kedatangan saya di rumah SNS, saya tara bertemu dengan kedua orang tuanya. Di rumah MDL saya hanya bertemu kakak MDL. Hari berikutnya barulah saya bertemu dengan kedua orang tua mereka masing-masing. Ku curahkan permasalahan akademik anak mereka. Dan saya pun meminta bantuan kedua orang tua mereka, untuk mengingatkan mereka supaya datang ke sekolah setiap sore kecuali hari kamis guna bimbingan baca dan tulis dengan saya. Yesss, usaha saya kali ini berbuah manis, mereka berangkat gaesis,,,meski saya harus menunggu kedatangan mereka kurang lebih hampir 1 jam dari waktu yang telah disepakati sebelumnya, tapi tara apa yang penting mereka mau datang buat bimbingan, saya sudah senang. Yes Yes yes..
Dan Alhamdulillah sekarang SNS sudah bisa menulis dan baca meski masih harus pelan-pelan. MDL sekarang juga so tau huruf A-Z meski kalau disuruh mengeja kata-kata masih kesusahan. Tapi puji syukur alhamdulillah setidaknya mereka berdua so ada perkembangan, meski kecil yang penting ada kan the readers.
Nah, the readers singkat cerita yaaa...pagi itu saya turun dari katinting (red.motor otok-otok tara pake kunci tapi bisa nyala, joss gantos ra :D), pagi itu suasana di SMP N 6 Pulau Morotai masih dalam Ujian Nasional, nah tiba-tiba dua muridku kelas IX B menghampiriku “Ibu, bu Ika tara usah pulang ke Jawa eee, kalo bu Ika pulang ke Jawa, bu Ika dibagi dua saja eee, satu di Jawa, satu disini”. Saya Cuma bisa tersenyum mendengar ucapan muridku.kemudian Jahra Peklian memberikan sosiru cantik untukku katanya “Ini buat bu Ika, supaya bu Ika ingat pa torang.”
“Wah,,terima kasih banyak e jahra, sosirunya cantik sekali.”
Sebelum  saya melanjutkan perkataan lagi, toki bel masuk pun berbunyi, percakapan kami pun terhenti.
Sosiru pemberian Jahra
Nah, kalo tadi saya so cerita pengabdianku di SMP N 6 Pulau Morotai, sekarang saya akan ceritakan pengabdianku di SMTK Siloam Tawakali. Lingkungan belajar di SMTK Siloam Tawakali sangat bertolak belakang dengan SMP Negeri 6 Pulau Morotai, kalo di halaman SMP N 6 Pulau Morotai lebih banyak kambing dan sapi berkeliaran, nah kalo di halaman gedung tumpangan SMTK Siloam Tawakali lebih banyak babi dan anjing berkeliaran. Gedung tumpang? The readers pasti bertanya-tanya to?
Jadi gini the readers, SMTK Siloam Tawakali ini belum memiliki gedung sekolah sendiri, alhasil dalam menunjang proses KBM kami pun menumpang di SMP BPD Tawakali. Hal ini pula yang menyebabkan proses belajar di SMTK Siloam Tawakali dimulai pukul 13.00 WIT hingga 18.00 WIT. Sebenarnya kami sudah mendapat bantuan 1 unit gedung sekolah dari pemerintah sejak Desember 2015 lalu, namun sudah sejak Februari 2016 bantuan tersebut terhenti sampai sekarang. Entah kenapa, kami pun belum menerima keterangan lebih lanjut.
Gedung SMTK Siloam Tawakali
Meski torang masih menumpang, tapi puji syukur setidaknya torang masih bisa melangsungkan proses belajar mengajar. Kelas tumpangan torang disini banyak jendelanya, bahkan ada jendela mini juga lho...hehhehehe
Ruang Kelasku
Keterbatasan sapras ini tidak menyurutkan semangat belajar murid-muridku disini. Justru saya acungkan jempol untuk mereka. Bayangkan saja rata-rata jarak tempat tinggal mereka dari sekolah sekitar 1 KM itu pun naik turun bukit, itu pun harus mereka tempuh dengan berjalan kaki kalo tidak ada oto yang lewat. Dan itu berarti supaya mereka tidak terlambat sekolah mereka harus berangkat dari rumah sekitar jam 11’an, di mana sang mentari masih di puncak, dan jangan disamakan panasnya di Morotai sama dengan di Jawa. Di sini kalau siang-siang berjalan satu orang satu matahari gaeis. Panasnya jangan ditanya. Meskipun begitu, semangat murid-muridku untuk meraih cita-cita mereka tak pernah padam dengan panas sang mentari.

Sebuah pernyataan dari muridku di SMTK Siloam Tawakali yang sampai sekarang masih terngiang diingatanku, Albeyatris namanya “kejarlah cita-citamu setinggi langit di atas sana dan sedalam lautan di dalam laut”, katanya.
Di negeri kelapa ini saya tidak hanya mendapatkan sebuah pengalaman yang sangat berharga, tapi saya juga mendapatkan murid-murid yang luar biasa, keluarga, dan sahabat Morut yang super koplak. Tidak ada kata yang bisa kulukiskan untuk pengalaman yang sangat berharga di negeri kelapa ini. Dari merekalah saya belajar akan ketulusan, tanggung jawab, kesederhanaan dan toleransi yang mungkin itu jarang saya dapatkan selama di Jawa. Terimakasih Tuhan telah mengirim dan mengijinkan saya untuk menikmati hidup dan menghirup udara di negeri kelapa ini. Terimakasih juga saya sampaikan pada Kemenristek Dikti serta Unnes yang telah mengirimku ke Morotai. Sungguh, sebuah pengalaman yang akan ku bawa dan ku ceritakan pada anak cucuku kelak bahwa di ujung utara Wilayah Indonesia Timur, alamnya sungguh mempesona serta masyarakat yang wuarbiyasah.

Sabtu, 09 Mei 2015

SKRIPSICK

Wahai skripsiku,
Kapan engkau selesai,
Berapa banyak revisimu,
Apa lagi yang harus gue lakukan
Untuk mendapatkan pesetujuan dosen buat sidang skripsi?

Alo the readers, bahas soal skripsi emang ndak ada habisnya. Kalo kemaren gue udah share tentang trick and trick mengenai perjalanan skripsi gue (My Skripsong is My Skripsweet), kali ini gue mau share tentang beberapa penyakit yang sering dialami skripsier (baca: pejuang skripsi). Ini fakta bukan mitos, sungguh. Dulu waktu proses skripsi gue berlangsung, beberapa penyakit ini juga sering gue alami sendiri. But, you don’t worry with the illness because I have some medicine for it, hehhehe
The first one is Malesnisitis. You know, gejala penyakit ini diawali dengan menurunnya semangat buat ngerjain skripsi, bawaannya pengen nge-game ajah. Efek samping skripsi jadi molor. Dan kalo udah memasuki stadium 4 (parah banget), cegah dengan minum tablet KORSA (Kobarkan Semangat), soda spirit 1 gelas. Kalo belum sembuh juga, carilah penyemangat kalian. Who is he? Eing ieng....
Ato kalian bisa juga mengatasi jenis penyakit ini dengan mendendangkan syair lagu gue “My Skripsong” yang udah gue posting di My Skripsong is My Skripsweet.
Selain malesnisitis, ada juga Ngelunotromy, gejala ini akan timbul setelah proses bimbingan dengan dosbing (baca: dosen pembimbing). Di mana para skripsier harus menerima kenyataan pahit. Pahit? Mosok iyo? Kalo gue sendiri sih antara seneng plus ngelu. Seneng, karena skripsi gue banyak coretan berarti benar-benar dibaca sama dosbing gue. Ngelu yang berarti skripsi gue masih banyak yang harus diperbaiki. Nah, kalo kalian udah terjangkit ngelunotromy, biasanya tanda-tandanya muka lonjong, alis menukik, tangan menyangga kepala
 
Dan kalo udah begini cegah dengan minum sabaron dan bersyukurinis.
“Hidup itu emang keras..Tapi nggak kejam.. itu semua gimana kita menyikapinya..”-Skripshit
Ada ngelunotromy, ada juga Stressor. Jenis penyakit ini ndak jauh beda dengan ngelunotromy, hanya saja jenis penyakit yang satu ini perlu penanganan yang lebih ekstra jos.  Karena kalo sedikit lengah dalam penanganannya aja, bisa-bisa para skripsier yang udah terjangkit Stressor stadium 4, memutuskan buat beli skripsi-sidang-jadi sarjana-jadi pejabat-mati-masuk neraka-dibakar api skripsi. Nah, buat menghindari hal tersebut gue sarankan minum larutan N-Ach (Need for Achivement) setengah liter. Perlu juga tambahkan asupan refreshing dan minum 3 pil 3D (Dijalani, Dinikmati, Disyukuri).
Insomnia. Mendengar kata ini tentunya the readers udah pada tahu gejalanya. Yes, all right. Gejala dari penyakit ini biasanya mata bengkak, mata sulit buat terpejam, habis itu hidung meler (karena kebanyakan angin malam). Gejala ini sendiri biasanya timbul setelah semangat skripsier buat ngerjain skripsi meledak-ledak, apalagi setelah hasil revisi skripsier di-acc dan disuruh lanjut bab selanjutnya. Ohhh itu rasanya seneng binjo. Saking senengnya tanpa mengenal lelah hingga sang fajar telah berganti sang dewi malam, skripsier ini biasanya masih duduk termenung didepan sebuah layar tancep, dan jari tangan yang tak berhenti mengetik, bawaannya pengen cepet selesai biar cepat bimbingan lagi. 

Kalo udah begini, kalian para skipsier perlu meminum sari bawak (bagi waktu). Ileng lho yo, tubuh kita juga perlu istirahat.
Efek samping dari semangat skripsier yang meledak-ledak buat ngerjain skripsi selain insomnia, biasanya para skripsier ini juga terjangkit virus lupa makan.  Nah kalo udah begini, gue saranin kalian para skripsier, minum tablet PD (Pengendali Diri). Gue sendiri justru bukannya lupa makan, malah porsi makan gue waktu proses skripsi justru dua kali lipat dari porsi makan gue biasanya. Malah kalo kata temen gue (Gendut), porsi makan gue kayak tukang. Cuman yang bikin gue bingung, berat badan gue bukannya naik, justru malah berkurang. Berat badan gue yang biasanya 46-47 kg, justru menurun hingga cuma tinggal 43 kg. Hello kemana perginya makanan yang gue makan? Gue jadi mikir mungkin cacing-cacing penghuni perut gue udah pada besar, dan merekalah yang nyuri makanan gue. (Awas koe cing tak wenehi obat cacing!)
Dan jenis penyakit terakhir yang biasanya diderita skripsier yaitu Kanker (baca: Kantong kering). FYI, buat para skripsier yang anak kos-kosan, yang hidupnya serba pas-pasan, yang engga bawa printer sendiri, kayak gue, harus bolak-balik buat ngeprint naskah skripsi. Apalagi kalo revisi lagi revisi lagi, dan yang parah lagi kalo revisinya berkepanjangan, alamat harus bolak-balik ngeprint terus. Kalo udah begini gue kasih trik jitu, usahakan ketika kita  memperbaiki bagian yang direvisi sama dosbing kita, tidak merubah halaman selanjutnya ataupun halaman sebelumnya. Jadi, intinya kita cuma ngeprint bagian yang direvisi aja, kan hemat. Hehehhehehe
Tapi, kalo cara tersebut ndak bisa dilakukan, kalian para skripsier cuma perlu ingat “Jer basuki mowo beo”. Apa coba artinya? Ada yang tau?
FYI, arti kalimat tersebut kurang lebih seperti ini “Segala sesuatu itu pasti ada biayanya”. Nah, jadi kalo skripsier menderita kanker selama proses skripsi berlangsung, ikhlaskan saja. Hari esok pasti akan ada rezeki yang akan menanti. Hihihihi
Akhir kata kurang lebih seperti itulah jenis penyakit yang sering menyerang para skripsier. Kalo ada jenis penyakit lain yang diderita skripsier, the readers bisa menambahkan di kolom komentar. Thank you. Salam SUKSES (Semangat Usaha mesKipun Situasi sEmakin Sulit) hehhehe