Tampilkan postingan dengan label Otak. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Otak. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 15 Juli 2017

Queen of The East



 
Sang Ratu dari Timur (Queen of The East) sebuah sebutan kebanggaan Belanda terhadap Batavia. Asal mula Jakarta sebagai kota pelabuhan dapat kita telusuri hingga sekitar abad ke 12. Pada waktu itu, disebutkan adanya sebuah kota bernama Sunda Kepala yang nampaknya merupakan pelabuhan kerajaan Hindu yang bernama Pajajaran. Nama pelabuhan tersebut mengacu pada nama Sunda, yaitu wilayah Jawa bagian barat, di mana penduduknya memiliki bahasa dan kebudayaan yang berbeda dengan Jawa Tengah dan Jawa Timur, sert nama tumbuhan kelapa yang banyak tumbuh di wilayah  pesisir tersebut. Di sinilah untuk pertama kalinya sebuah pelabuhan di Kali Ciliwung berdiri sebagai bagian penting dalam jaringan perdagangan Indonesia. Nilai penting Sunda Kelapa juga dipengaruhi oleh pola perdagangan. Ketika pelabuhan Malaka di pantai barat Malaya semakin kuat, pengaruh Sunda Kepala dan pelabuhan – pelabuhan lain di wilayah tersebut memudar. Namun demikian, saat selata Malaka ditakluka oleh Portugis (1511), Sunda Kelapa diuntungkan dengan meningkatnya kedatangan para pedagang Muslim yang memboikot Malaka.
Pada abad ke-16, Sunda Kelapa tetap berada dalam pengaruh agama Hindu terjebak dalam persaingan antara dua kekuatan asing baru, yaitu Islam dan Kristen. Walaupun ingin mendapatkan keuntungan dari kedatangan para pedagang muslim, pemimpin Pajajaran  merasa khawatir terhadap invasi agama baru tersebut. Sebagaimana para penguasa maritim lainnya  yang memanipulasi para pedagang untuk keuntungan mereka sendiri, penguasa Sunda Kelapa menjalin hubungan dengan Portugis (1522) guna mendapatkan perlindungan dari ancaman kekuatan muslim di daerah sekitarnya. Sunda Kelapa menjanjikan sejumlah lada setiap tahun dengan syarat Portugis hatus membangun benteng di Sunda Kelapa. Namun, ketika Portugis datang pada 1527 guna membangun benteng, ternyata mereka telah didahului oleh kaum Muslim.
Kekuatan Jawa Barat yang semakin berkembang pada saat itu, yaitu Kesultanan Banten di sebelah barat Sunda Kelapa telah mengirimkan seorang panglima bernama Fatahillah (Fadhillah Khan atau orang Portugis mengenalnya dengan nama Tagaril atau Falatehan) guna menaklukkan kota ini dan megubahnya menjadi negara bawahan Banten. Ia berhasil mengusir armada Portugis, lalu mengganti nama pelabuhan ini menjadi Jayakarta (Kemenangan dan Kejayaan). Inilah yang menjadi asal nama Jakarta saat ini.
Di bawah Banten, Jayakarta tidak sebesar Sunda Kelapa. Sesuai dengan tata kota Jawa, pusat kotanya adalah kediaman Pangeran Jayakarta (yang ditunjuk oleh Sultan Banten) yang terletak didekat alun-alun dan masjid. Jayakarta memiliki reputasi sebagai kota perbekalan (tempat kapal dapat berlabuh guna mendapatkan persedian logistik serta kayu guna perbaikan kapal) hingga tahun 1619. Isu akan kebutuhan VOC mendirikan markas besar di kepulauan Indonesia pun berkembang (Blackburn, 2011:4-8). Kebutuhan akan markas besar basis operasi perdagangan semakin terasa dengan semakin meningkatnya ancamana persaingan dari pihak Inggris. Pusat perdagangan VOC pada 1603 terletak di Banten, dirasa kurang cocok untuk dijadikan sebagai markas besar. Di tempat ini mereka mendapat saingan yang hebat dari para pedagang Cina dan Inggris dan kota ini berada di bawah kekuasaan Kesultanan Banten yang kaya dan kuat (Ricklefs, 1998:41).
VOC segera mengalihkan perhatiannya ke Jayakarta sebagai lokasi yang berpotensi dijadikan markas besar. Alasannya adalah pertama, seperti laykanya Banten, pelabuhan ini dekat dengan Selat Sunda yang sering dilalui kapal-kapal Belanda dalam perjalanan melintasi samudera Hindia dari dan ke Eropa melewati Tanjung Harapan., Kedua, meskipun bawahan Banten, Pangeran Jayakarta sudah tidak lagi tunduk pada Banten dan berupaya membangun kekayaan dan kemandirian dengan cara menarik para pedagang dari Banten. Pada 1610, sebuah kontrak ditandatangani antara VOC dan Pangeran Jayakarta yang mengizinkan VOC untuk membangun gudang-gudang di tepi timur kali Ciliwung (Blackburn, 2011:11). Bneteng tersebut  dinamai Mauritius Huis. Melalui benteng inilah, pada bukan Mei 1619 VOC menyerang Jayakarta dengan membumihanguskan kraton serta hampir seluruh pemukiman penduduk (Hapsari dan Adil, 2014:41). Orang yang bertanggunngjawab atas kehancuran Jayakarta ialah Jan Pieterzoon Coen yang diangkat sebagai Gubernur Jenderal VOC pada 1618 (Blackburn, 2011:11).
Di dalam Benteng, orang –orang Belanda segera merayakan kejadian tersebut dan dalam suasana pesta yang diadakan pada 12 Maret 1619, mereka menamakan bentengnya menjadi “Batavia” guna menghormati leluhur bangsa Belanda, yaitu orang- orang Batavia (Blackburn, 2011:15). Hal ini sesuai dengan nama suku bangsa Jerman kuno di negeri Belanda (Ricklefs, 1998:45). Walaupun tidak segera mendapatkan pengakuan resmi, nama ini terus bertahan dan diakui oleh VOC pada 1621.
Pada 1942 Jepang berupaya menghapus semua pengaruh Belanda. Patung pendiri Batavia, Jan Pieterzoon Coen segera digusur dari tempat kehormatannya di Waterlooplein. Penggusuran ini seolah menjadi pertanda pernyataan yang disampaikan nantinya pada 1942 bahwa nama ibukota diubah menjadi Jakarta, versi Jayakarta pada masa pra kolonial. Pada Oktober 1942, semua penanda dan iklan dalam bahasa Belanda harus diganti ke dalam bahasa Jepang atau Indonesia (Blackburn, 2011:182-183).
Walaupun kekuasaan VOC sangat besar, namun VOC tidak mampu memberikan kesan Eropa yang kuat terhadap kota ini. Di antara kelompok-kelompok etnis di Batavia pada abad ke-19, orang Indonesia mengalami transformasi yang paling menarik. Pada awal abad tersebut, mereka masih dapat dibedakan ke dalam beberapa kelompok, seperti: Melayu, Bugis, Bali, Sumbawa dan Ambon, serta sebuah kategori lain yang mencakup semuanya yaitu budak yang juga datang dari seluruh kepulauan kecuali Jawa. Berakhirnya  perdagangan budak pada 1812 berarti penyerapan budak secara bertahap ke dalam masyarakat Batavia yang lebih luas. Populasi orang Indonesia di Batavia meninngkat 2 kali lipat selama abad ini, dari 33.000 orang (termasuk semua kelompok etnis dan budak Indonesia) pada 1815, menjadi hampir 78.000 orang pada 1900. Dengan demikian pada abad ke-19, orang Indonesia yang dilahirkan di Batavia secara umum disebut orang Betawi (Blackburn, 2011:90). Menelisik tentang sejarah asal muasal kata Betawi, kata betawi sebagai sebuah suku yang pada masa Hindia Belanda diawali dengan pendirian sebuah organisasi yang bernama Pemoeda Kaoem Betawi yang lahir pada tahun 1923 yang didirikan oleh Husni Thamrin.

Daftar Pustaka:
Blackburn, Susan. 2011. Jakarta: Sejarah 400 Tahun. Depok: Masup Jakarta.
    Hapasari, Ratna., dan Adil, M. 2014. Sejarah Indonesia untuk SMA/Ma Kelas XI Kelompok Wajib berdasarkan Kurikulum 2013. Jakarta: Erlangga.
          Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.