Hallo the readers, akan
ku ceritakan sepotong kisahku selama 9 bulan terakhir ku hidup di “Negeri
Kelapa”. Where is it? Sebuah negeri di ujung utara wilayah Indonesia bagian
timur, Kecamatan Morotai Utara, Kabupaten Pulau Morotai, Provinsi Maluku Utara.
Lalu kenapa ku sebut “negeri kelapa”? Jadi gini gaeis, mungkin banyak orang
diluar sana yang menjuluki Pulau Morotai sebagai mutiara di bibir Pasifik,
namun tidak bagiku, Aku lebih suka menyebut daerah ini sebagai “Negeri Kelapa”.
Karena apa? Di mana – mana ada kelapa, men.
Dari ujung pulau ke
ujung pulaunya lagi, perwujudan pohon kelapa menjadi pemandangan setiap pagiku,
siangku, dan malam ku. Bahkan wujud buah kelapa selalu ada dalam setiap menu
makan pagi, siang dan malamku. Dan yang tak kalah nikmatnya, buaian daun kelapa
yang aduh haii sepoipoi dikala sang surya tengah berada di puncak, buaiannya
yang tak kalah pula kala sang surya tenggelam di ufuk barat.
Berkat kelapa pula
masyarakat disini dapat menyekolahkan anak-anak mereka hingga ke Tobelo,
Ternate, Tidore, Manado, Makassar bahkan ada pula yang sampai ke Jawa. For your
information, mata pencaharian mayoritas masyarakat di sini berladang dan
nelayan, banyak dari mereka yang menanami ladang mereka dengan kelapa yang kemudian
diolah menjadi kopra, ada juga yang menanaminya dengan cengkeh. Sebuah barang
komoditas ekspor dari jaman kedatangan bangsa barat di Indonesia hingga
sekarang yang masih memiliki harga jual yang cukup tinggi. Nah, the readers,
ada yang cukup unik dari cara berladang masyarakat disini, misalnya ketika
memasuki musim tanam padi. Kala itu, liburan semester ganjil. Percaya ka
tarada? Kalo padi dapat tumbuh subur di lahan ini. (See the bellow picture)
Dari lahan bekas kebun kelapa inilah
benih-benih cinta padi mulai di tabur. FYI, orang Bere-Bere dalam
batanam padi, mereka memanfaatkan lahan bekas kebun kelapa. Setelah pohon
kelapa dibabat abis, kemudian tanah lahan tersebut ditikam-tikam dengan tongkat
kayu hingga terbentuk lobang-lobang kecil kira-kira kedalamannya 20 cm, barulah
si benih padi tadi ditabur pada lobang-lobang kecil tadi, si lobang yang telah
terisi benih padi, Cuma dibiarkan begitu saja tanpa ditimbun tanah lagi. Dan
yang bikin saya heran hingga takjub, awal bulan maret 2016 lalu, kebetulan saya
melintas di kebun tersebut, dan subhanallah benih padinya so tumbuh besar-besar
hingga petak lahan tersebut bak permadani hijau. Emejing :D
Tradisi ini juga sama ketika panen
langsa, di mana pada waktu itu satu kebun langsang yang
manen hampir satu desa, bahkan dari desa tetangga juga ada yang ikut.
Kalo dari tadi saya lebih sering
menceritakan kehidupan masyarakatnya, sekarang giliranku ceritakan bagaimana
pendidikan di sini. Saya harap setelah membaca tulisanku mengenai pendidikan
disini, the readers tara usah terheran-heran hingga mulut terbuka lebar, mata
melongo. Jangan ya the readers, hehehheheh.
FYI, di Morotai ini saya mengabdikan
diriku di dua sekolah yang memiliki basic yang berbeda. Pagi hari ku berbagi
ilmu dengan Sekolah Menengah Pertama Negeri 6 Pulau Morotai, sore hari ku berbagi
ilmu dengan anak-anak Sekolah Menengah Teologi Kristen Tawakali. Yupzz, di kedua
tempat tersebut saya mengajar SEJARAH. Belajar sejarah itu asyik lho gaeis.
Kalo ndak percaya sesekali the readers bolehlah mencoba ikut kelas saya,
hehehheheh
Singkat cerita, di SMP saya punya dua
murid kelas VII yang belum bisa membaca dan menulis, sebut saja SNS dan MDL. Suatu
hari Ku adakan ulangan harian sejarah yang pertama. Tet tot, berhubung saya so
tau kalo SNS dan MDL tara bisa menulis dan membaca, saya pun memberi mereka
ulangan lisan. Satu pertanyaan pun saja ajukan, tapi mereka tara bisa menjawab, akhirnya saya
lanjutkan pertanyaan kedua, mereka juga tara bisa menjawab, hingga sampe
pertanyaan terakhir, pertanyaan kelima, hasilnya pun masih sama meraka tara
bisa jawab. Yasudahlah, saya akhirnya bertanya kepada mereka “Selama bu Ika
mengajar ngoni (red.Kalian), yang ngoni tau apa?” MDL masih tetap saja tara
bisa menjawab. Saya berharapa SNS bisa menjawab, sebuah jawaban pun terlontar
dari mulut mungil SNS “tukar menukar”. Mendengar jawaban SNS, tenggorokan saya
rasanya tiba-tiba serasa tercekik, mata saya pun so mulai berkaca-kaca, suara
saya pun so mulai parau, saya pun menyuruh mereka duduk.
Yepzz, memang sebenarnya jawaban SNS
tidak terlalu melenceng si, memang pada waktu itu materi yang kita bahas mengenai
kehidupan awal manusia, dan tukar-menukar tidak lain arti dari sistem barter
yang digunakan pada kehidupan awal manusia dalam mencukupi kebutuhan hidupnya
dengan cara menukar barang yang satu untuk mendapatkan barang yang lainnya.
Mulai dari kejadian ini saya berpikir,
Ya Allah masih dapatkah saya menjadi partikel cahaya yang mampu menerangi
mimpi-mimpi mereka??
Hari demi hari pun berlanjut, saya
menawarkan kepada SNS dan MDl untuk bimbingan menulis dan membaca dengan saya
setiap sore kecuali hari Kamis, karena saya ada jadwal mengajar di SMTK Siloam
Tawakali. Tapi...mereka tara pernah datang. Hingga akhirnya kuputuskan untuk
mendatangani kedua orang tua mereka. Awal kedatangan saya di rumah SNS, saya
tara bertemu dengan kedua orang tuanya. Di rumah MDL saya hanya bertemu kakak
MDL. Hari berikutnya barulah saya bertemu dengan kedua orang tua mereka
masing-masing. Ku curahkan permasalahan akademik anak mereka. Dan saya pun
meminta bantuan kedua orang tua mereka, untuk mengingatkan mereka supaya datang
ke sekolah setiap sore kecuali hari kamis guna bimbingan baca dan tulis dengan
saya. Yesss, usaha saya kali ini berbuah manis, mereka berangkat gaesis,,,meski
saya harus menunggu kedatangan mereka kurang lebih hampir 1 jam dari waktu yang
telah disepakati sebelumnya, tapi tara apa yang penting mereka mau datang buat
bimbingan, saya sudah senang. Yes Yes yes..
Dan Alhamdulillah sekarang SNS sudah
bisa menulis dan baca meski masih harus pelan-pelan. MDL sekarang juga so tau
huruf A-Z meski kalau disuruh mengeja kata-kata masih kesusahan. Tapi puji
syukur alhamdulillah setidaknya mereka berdua so ada perkembangan, meski kecil
yang penting ada kan the readers.
Nah, the readers singkat cerita
yaaa...pagi itu saya turun dari katinting (red.motor otok-otok tara pake kunci
tapi bisa nyala, joss gantos ra :D), pagi itu suasana di SMP N 6 Pulau Morotai
masih dalam Ujian Nasional, nah tiba-tiba dua muridku kelas IX B menghampiriku
“Ibu, bu Ika tara usah pulang ke Jawa eee, kalo bu Ika pulang ke Jawa, bu Ika
dibagi dua saja eee, satu di Jawa, satu disini”. Saya Cuma bisa tersenyum
mendengar ucapan muridku.kemudian Jahra Peklian memberikan sosiru cantik
untukku katanya “Ini buat bu Ika, supaya bu Ika ingat pa torang.”
“Wah,,terima kasih banyak e jahra,
sosirunya cantik sekali.”
Sosiru pemberian Jahra
Nah, kalo tadi saya so cerita
pengabdianku di SMP N 6 Pulau Morotai, sekarang saya akan ceritakan
pengabdianku di SMTK Siloam Tawakali. Lingkungan belajar di SMTK Siloam
Tawakali sangat bertolak belakang dengan SMP Negeri 6 Pulau Morotai, kalo di
halaman SMP N 6 Pulau Morotai lebih banyak kambing dan sapi berkeliaran, nah
kalo di halaman gedung tumpangan SMTK Siloam Tawakali lebih banyak babi dan
anjing berkeliaran. Gedung tumpang? The readers pasti bertanya-tanya to?
Jadi gini the readers, SMTK Siloam
Tawakali ini belum memiliki gedung sekolah sendiri, alhasil dalam menunjang
proses KBM kami pun menumpang di SMP BPD Tawakali. Hal ini pula yang
menyebabkan proses belajar di SMTK Siloam Tawakali dimulai pukul 13.00 WIT
hingga 18.00 WIT. Sebenarnya kami sudah mendapat bantuan 1 unit gedung sekolah
dari pemerintah sejak Desember 2015 lalu, namun sudah sejak Februari 2016
bantuan tersebut terhenti sampai sekarang. Entah kenapa, kami pun belum
menerima keterangan lebih lanjut.
Gedung SMTK Siloam Tawakali
Meski
torang masih menumpang, tapi puji syukur setidaknya torang masih bisa
melangsungkan proses belajar mengajar. Kelas tumpangan torang disini banyak
jendelanya, bahkan ada jendela mini juga lho...hehhehehe
Ruang Kelasku
Keterbatasan sapras ini tidak
menyurutkan semangat belajar murid-muridku disini. Justru saya acungkan jempol
untuk mereka. Bayangkan saja rata-rata jarak tempat tinggal mereka dari sekolah
sekitar 1 KM itu pun naik turun bukit, itu pun harus mereka tempuh dengan
berjalan kaki kalo tidak ada oto yang lewat. Dan itu berarti supaya mereka
tidak terlambat sekolah mereka harus berangkat dari rumah sekitar jam 11’an, di
mana sang mentari masih di puncak, dan jangan disamakan panasnya di Morotai
sama dengan di Jawa. Di sini kalau siang-siang berjalan satu orang satu
matahari gaeis. Panasnya jangan ditanya. Meskipun begitu, semangat
murid-muridku untuk meraih cita-cita mereka tak pernah padam dengan panas sang
mentari.
Sebuah pernyataan dari muridku di SMTK
Siloam Tawakali yang sampai sekarang masih terngiang diingatanku, Albeyatris
namanya “kejarlah cita-citamu setinggi langit di atas sana dan sedalam lautan
di dalam laut”, katanya.
Di negeri kelapa ini saya tidak hanya
mendapatkan sebuah pengalaman yang sangat berharga, tapi saya juga mendapatkan
murid-murid yang luar biasa, keluarga, dan sahabat Morut yang super koplak.
Tidak ada kata yang bisa kulukiskan untuk pengalaman yang sangat berharga di
negeri kelapa ini. Dari merekalah saya belajar akan ketulusan, tanggung jawab,
kesederhanaan dan toleransi yang mungkin itu jarang saya dapatkan selama di
Jawa. Terimakasih Tuhan telah mengirim dan mengijinkan saya untuk menikmati
hidup dan menghirup udara di negeri kelapa ini. Terimakasih juga saya sampaikan
pada Kemenristek Dikti serta Unnes yang telah mengirimku ke Morotai. Sungguh,
sebuah pengalaman yang akan ku bawa dan ku ceritakan pada anak cucuku kelak
bahwa di ujung utara Wilayah Indonesia Timur, alamnya sungguh mempesona serta
masyarakat yang wuarbiyasah.
Mantap tulisannya,
BalasHapusSalam
http://pak-pandani.blogspot.co.id/
Terima kasih Pak Pandani :)
HapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus